Na lagi ngapain…? Terdengar suara parau di HP Nana yang saat itu tengah istirahat di sela-sela pekerjaannya. Nana yang saat itu tengah menikmati menu makan siangnya, meletakkan makanan dan beranjak menuju halaman belakang kantor. “Hai ...Dod, aku lagi makan, kamu dah makan? Jawaban basa-basi Nana. Dodi adalah kekasih Nana. Mereka sudah saling mengenal cukup lama, tetapi baru di pertengahan tahun 2009 ini mereka dekat dan akhirnya membuat komitmen bersama untuk lebih mengenal satu dengan yang lain secara lebih dalam. Singkat kata di pertengahan tahun 2009 mereka resmi pacaran. “Aku tadi buka facebook dan ada temen aku yang kasih pesen, katanya sih dia denger gosip tentang aku. Kemudian dia nawarin waktunya buat aku cerita ke dia. Aku ndak ngerti gosip apaan, tapi aku ngerasa gosip itu tentang kita berdua dan sumbernya pasti dari mama.” Kata-kata diseberang terhenti dan hanya tedengar hembusan nafas panjang. Percakapan mereka pun terhenti karena Nana harus kembali bekerja. Maklumlah Nana bekerja di sebuah perusahaan yang menuntut disiplin yang lebih.
Hari pun bagi mereka berlalu sangat lambat, seolah-olah matahari tersangkut di tiang-tiang langit. Detik demi detik bergerak dengan pasti, namun suasana hati mereka yang gundah tak mampu untuk merasakan detakan sang waktu. Kendati waktu serasa tak bergerak, namun akhirnya sore pun tiba. Baik Nana maupun Dodi bergegas meninggalkan kantor mereka masing-masing. Mereka kembali ke tempat kos Dodi dan kembali melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi siang. Diskusi hangat yang dibumbui dengan curahan hati dan berbagi perasaan menghanyutkan dua insan yang sementara berjuang mencari makna kehidupan. Tak terasa malam pun tiba dan lagi-lagi pembicaraan mereka terhenti dengan tetap meninggalkan tanda tanya besar dalam benak mereka.
Selang beberapa hari, tanda tanya besar yang tersimpan dalam benak mereka sedikit terungkap. “Na..., mama tidak tau siapa Dodi sebenarnya, apa motivasinya dan juga latar belakangnya. Ini nomer HP Ivan 085222887722. Kamu bisa hubungi dia, karena dia banyak tau tentang siapa Dodi.” Ivan adalah teman Dodi ketika mereka sama-sama mengenyam pendidikan di Seminari. Ivanlah yang telah mengirimi surat elektronik kepada Dodi melalui facebook. SMS mama Nana sangat jelas isinya. Nadanya tegas dan lugas bahwa dia tidak menyetujui kedekatan Nana dengan Dodi akhir-akhir ini. “Permasalahan yang sejak awal telah diutarakan mama ke aku Dod. Mama tidak suka aku berhubungan dengan kamu. Aku tidak tahu kenapa mama sangat membenci kamu. Tapi satu kalimat yang sangat jelas aku ingat, dia tidak setuju dengan kamu karena kamu adalah mantan frater.” Suara Nana keras dan pelan-pelan hilang oleh suara-suara binatang malam. ... Dodi ingat beberapa bulan yang lalu, ketika dia baru memutuskan untuk meninggalkan biara. Di suatu sore, mama Nana bersama adiknya datang ke biara. Dodi seperti biasa menemui mereka dan mereka terlibat pembicaraan yang tenang tapi sedikit formal. Saat itulah mama Nana mengutarakan sebagian isi hatinya kepada Dodi. Inti dari ungkapan dan sekaligus tujuan mama Nana datang menemui Dodi adalah ketidaksetujuan kedekatan Dodi dengan anaknya, Nana. Banyak yang diutarakan saat itu dan berhubungan juga dengan keputusan Dodi untuk meninggalkan biara. Ada sedikit perasaan penyesalan dan ungkapan kekecewaan yang dalam dengan keputusan yang telah diambil Dodi, tapi terasa itu semua hanya basa-basi karena pada intinya adalah dia tidak suka dengan Dodi.
Nana dan Dodi diam dengan pikiran mereka masing-masing. Dodi seorang mantan frater. Dia telah mencoba menjalani hidupnya sebagai seorang frater selama kurang lebih 8 tahun. Ketika ia berada di saat-saat terakhir untuk mempersiapkan kaul kekal, dia memutuskan untuk memilih jalan lain. Dia keluar dari biara dan hidup sebagai awam. Sebuah keputusan yang telah dia proses dan gumuli lama bersama dengan pembimbing rohaninya. Proses dan pergumulan yang besar dalam hidupnya. Meskipun semua hal telah ia pertimbangkan dan gumuli secara serius, toh lingkungan sekitar dimana dia hidup tetap memiliki cara pandang yang berbeda. Masih banyak pasang bibir yang mencibir dan masih banyak pasang mata yang menatap sinis. “Pasti karena perempuan!” Kata-kata itulah yang sering menjadi label bagi mereka yang berstatus mantan frater. Begitulah dunia, banyak hal yang tidak kita tau tapi kita merasa tau dan menjadi hakim bagi yang lain.
“Yah..., biarlah semua orang mencemooh. Mencibir dan memojokkanmu Dod. Semua itu tidak mempengaruhi perasaan dan rasa cintaku kepadamu Dod.” Kendati Nana merasa bahwa semuanya itu tidak mempengaruhinya, dari nada suaranya sangat terasa beban dan kepenatan batinnya. “Hanya yang aku sesalkan adalah keterlibatan temen-temen kamu Dod, seperti si Ivan. Dulu kalian teman, sahabat dan bahkan menggembar-gemborkan persaudaraan kalian. Mana arti saudara, sahabat, teman ketika kamu dalam kesulitan mereka justru hadir sebagai kekuatan yang ikut menekan kamu.” Suara Nana keras dan meninggi, ia mulai terbawa emosi. Masalah Nana dan Dodi semakin rumit karena usaha mama Nana untuk menjauhakan Nana dari Dodi melibatkan teman-teman Dodi. Teman-teman yang dulunya senasip seperjuangan, karena mereka memiliki pergumulan yang kurang lebih sama dengan Dodi. Karena satu dan lain hal mereka memutuskan untuk meninggalkan biara.
Nana penasaran dengan isi SMS mamanya dan ingin tau apa sebenarnya yang akan dia dengar dari Ivan tentang Dodi. Akhirnya suatu malam Nana putuskan untuk menghubungi Ivan. Pembicaraan mereka diawali dengan percakapan basa-basi yang hangat, tetapi ketika Nana mulai menyinggung SMS mama warna pembicaraan mereka menjadi formal. Suasana menjadi tegang dan dingin. Hal yang tidak dapat dimengerti Nana adalah pernyataan Ivan “Yah saya juga ikut bertanggung jawab dengan kebaikan dan masa depanmu, karena kita kan saudara to. Kamu kan adikku dan sebagai kakak, wajar dong memberikan perhatian.” Nana mulai sedikit emosi karena baru sekarang dia mendengar kata-kata kakak dan adik dari mulut Ivan. Selama ini dimana Ivan ketika Nana merasa sepi, sendiri dan sedih? Kapan Ivan menanyakan kabar dan situasi Nana? Padahal nomer HP Ivan sudah bertahun-tahun ada di Nana. Semakin membuat Nana beram adalah penilaian Ivan ke Dodi, “Dodi itu anaknya labil,...kamu mungkin hanya menjadi pelarian saja. Sejauh aku kenal dia, dia sering sulit untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya dan dia sampai sekarang masih memiliki relasi-relasi yang belum selesai.” Pernyataan-pernyataan yang merupakan penilaian Ivan ke Dodi membuat Nana semakin jengkel. Nana jengkel karena dia kenal siapa Dodi, apa yang diungkapkan Ivan bagi Nana hanya sebuah rekayasa agar Nana membenci Dodi dan kemudian memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka. Rasa jengkel dan perasaan emosinya memicu pikiran kritis Nana, “Lo..jangan-jangan kamu juga sementara mencari pelarian, kamu kan juga sama dengan Dodi, mantan frater. Jangan-jangan pacarmu yang sekarang ini juga adalah pelarian kamu dan keputusanmu untuk keluar dari biara adalah keputusan yang kamu ambil karena kondisi emosional kamu yang labil....!!?” Pembicaraan memanas dan tegang, Ivan yang memiliki latar belakang sama dengan Dodi merasa terpojokkan.
“Dodi......apakah Ivan tidak sadar bahwa dia itu juga sama dengan kamu...!!?” Emosi yang meletup-letup di benak Nana masih mewarnai ungkapan dan kata-katanya. “Apakah dia juga lupa bahwa kalian pernah hidup sama-sama sebagai sahabat, saudara. Mana kata-kata itu sekarang...? Atau selama ini kalian hanya bersandiwara? Di hadapan umat dan di mata publik kalian bersaudara, hidup rukun dan damai. Apakah itu yang kalian bangun selama ini!? Persahabatan dan persaudaraan yang semu. Persaudaraan dan persahabatan hanya karena status sosial”. Emosi Nana meledak-ledak. “Dan...aku juga heran dengan mama, semuanya ini dia buat karena dia sayang ke Nana. Semuanya adalah perwujudan cinta dan sayang mama ke Nana. Kalau sayang kenapa dia harus mengatakan semuanya ini lewat SMS, kenapa tidak saat dia belum berangkat liburan ke Jawa?” Dodi berusaha menenangkan situasi dengan diam dan bersikap tenang. Ia tau Nana kesal. Ia kesal dengan orang-orang yang katanya mencintai dan menyayanginya. Orang-orang yang seharusnya memberikan dukungan, dorongan dan motivasi ketika ia jatuh atau kelelahan dalam hidup. Orang tua, kakak-adik, sahabat-sahabat dan semua orang yang dia kenal baik. Orang tuanya yang katanya mencintai tetapi tidak pernah berusaha mencoba mengerti dan memahami kerinduan terdalam dari anaknya. Orang tua yang memikirkan masa depan anaknya, apa yang terbaik menurut idealismenya sebagai orang tua, tetapi lupa memikirkan dan memperhitungkan situasi, kondisi dan harapan terdalam dari buah hatinya. Orang tua yang sibuk dengan pikirannya, statusnya, gengsinya dan nama baiknya tanpa mempertimbangkan perasaan anaknya. “Dimana kata sayang dan cinta itu Dod? Bukankah cinta itu tidak penting untuk dikatakan...bukankah cinta itu lebih penting untuk dilakukan dan diwujudkan dalam tindakan kita sehari-hari. Jika cinta itu tulus, tanpa dikatakan pun, orang yang dicintai dapat merasakannya, huhhhhhh....”. Setelah lama menggerutu dan meluapkan emosinya, Nana menarik Nafas dalam dan diam. “Sudah sedikit lega Na,....” Suara Dodi lembut mendayu-dayu. “Tidak semua orang sudah sampai pada cara pandang seperti yang kamu miliki, termasuk mama kamu. Pernah aku baca di salah satu iklan, aku lupa iklan apa itu. Dalam iklan itu diungkapkan bahwa tua itu pasti, tapi dewasa itu adalah pilihan. Dalam hidup kita, sejak kita lahir diperhadapkan pada pilihan-pilihan. Jadi masa depan hidup kita ada ditangan kita. Saat ini kita telah membuat pilihan untuk tidak mengikuti apa yang dikatakan mama. Kita berdua setuju untuk tetap mempertahankan dan memperjuangkan cinta kita. Itu pilihan hidup kita Na.” Dodi diam dan menarik nafas dalam-dalam. Di raut wajahnya, tersirat kepenatan dan kelelahan karena situasi yang menekan mereka. Namun, di raut wajah itu masih terbersit sinar cerah yang mensiratkan rasa optimis pada suatu harapan dan cita-cita. “Yah..., semua orang unik Na dan termasuk mama kamu. Semoga kita nanti dapat semakin bijaksana dan semoga apa yang kita alami tidak kita wariskan ke generasi-generasi penerus kita, anak-anak kita sayang.” Nana yang mulai tenang memandang wajah Dodi lekat-lekat. Pancaran mata yang tadi suram, pelan-pelan berubah penuh dengan binar-binar harapan. “Na kita tidak tau apa yang akan terjadi dalam hidup kita dikemudian hari, tetapi hal yang terpenting adalah kita telah menentukan pilihan bagi kehidupan kita”. Nana mendekati Dodi dan ia menyandarkan kepalanya di bahu Dodi. Sesaat suasana menjadi hening. “Dod..., makasih ya....aku tau kamu lelah dan kecewa dengan sikap dan perlakuan orang tuaku, tapi kamu tetap tegar dan setia mencintai aku. Aku tau Dod kamu sangat mencintai aku. Aku dapat merasakannya Dod”. Nana kembali diam, dengan tetap memandang lekat ke wajah Dodi. “Dod, dengan pilihan yang kamu bilang tadi sebenarnya aku masih bimbang, karena bagaimana pun dia adalah ibuku, orang yang melahirkan aku Dod?” “Iya Na aku ngerti. Tapi mau sampai kapan situasi kita akan begini, kalau kita mengikuti apa yang menjadi keinginannya, toh percumah. Kamu kan yang bilang ke aku, kalau mamamu pernah bilang, “sampai kapan pun aku tak akan pernah menyetujui dan merestui hubungan kalian!”. Tidak gampang mengubah cara pandang dan mentalitas seseorang Na, apalagi orang itu memiliki kekuasaan dan wewenang. Bagaimana pun mereka adalah orang tua yang menganggap mempunyai otoritas penuh pada anak-anaknya. Yah seharusnya mereka ingat bahwa otoritas itu mereka miliki karena anugerah dari Tuhan. Dalam mendidik anak-anak, seharnya mereka juga rendah hati dan berani menanggalkan egonya dan mencoba obyektif dengan semua realitas yang ada”. Kini kelihatan Dodi yang emosi. Keningnya berkerut dan wajahnya mulai memerah. Melihat reaksi Dodi, Nana kini yang gantian menganbil peran sebagai peredam situasi yang mulai memanas. “Yah, apa yang kamu bilang benar Dod”. Suara Nana dibuat setenang mungkin. “Aku juga berpikir seperti apa yang kamu pikirkan, jika aku harus mengikuti apa yang menjadi keinginan mama, sampai kapan aku mau menikah”. Nana kembali ingat peristiwa-peristiwa masa lalunya. Kisah percintaan atau hanya sekedar relasi biasa yang berakhir dengan tidak menyenangkan karena ulah mamanya. Nana sudah berkali-kali berhubungan dengan orang-orang yang bagi dia cocok dan menyenangkan, tetapi interfensi dan arogansi orang tuanya selalu membawa akhir yang memilukan.
Reaksi orang tua Nana yang demikian bermula dari relasi Nana ketika dia kuliah di Semarang. Ketika itu dia telah berelasi kurang lebih 5 tahun. Pihak keluarga dari keduanya sudah saling mengenal dan setuju dengan hubungan tersebut, terlebih orang tua Nana. Baginya dia adalah pasangan yang ideal bagi Nana. Walaupun sebenarnya relasi mereka berdua tidak begitu harmonis, tapi menurut orang tua Nana itu biasa semuanya akan berubah ketika kalian berumah tangga. “Dia kalau marah suka banting-banting barang. Dia orang pencemburu,.....” itu keluhan Nana dan alasan dia kenapa tidak mempertahankan hubungan tersebut. Namun pernyataan itu bagi orang tua Nana wajar dan bahkan cenderung membenarkan dan mempersalahkan Nana. “Yah dia berbuat dan bersikap demikian tentu ada alasannya. Mungkin kamunya yang kurang ajar, tidak tau diri”, itu kata-kata yang sering justru terdengar dari mulut mama Nata. “Dulu papa kamu juga begitu.” Ibu Dib, mamanya Nana adalah single parens. Suaminya meninggal 13 tahun yang lalu. Sebagai orang tua tunggal itu lah yang juga mungkin menjadi latar belakang pemikiran dan cara dia untuk mendidik anak-anaknya. Nana sejak tamat SMA pindah ke Semarang. Dia melanjutkan studinya di sana. Di semarang dia kos dan mencoba membiayai kehidupannya sendiri. Selepas kuliah dia bekerja. Banyak pekerjaan yang telah ia coba, dari penjaga warnet sampai menjadi sales rokok. Ia berusaha mandiri dan bertekat membiayai uang kuliah dan biaya hidup dari jerih payahnya sendiri. Kendati demikian, ketika dia menyelesaikan studinya ia patuh dengan nasihat dan keinginan orang tuanya. Ia akhirnya pulang dan mencari kerja di Manado. Dalam hati kecilnya ia sama sekali tidak ingin pulang ke Manado, dia ingin apa yang telah ia rintis selama di kuliah dapat ia kembangkan. Kehidupan mandiri dan berdikari tanpa tergantung lagi pada orang tua. Namun ketaatan dan cintanya kepada orang tuanya telah menghancurkan semua impiannya.
Kini hal yang besar dalam kehidupannya kembali terusik dan impian yang ingin dibangun berusaha kembali diruntuhkan. Sama seperti ketika ia harus pulang ke Manado, pandangan dan cita-citanya yang telah ia rintis selalu diabaikan oleh orang tuanya. “Dod aku tidak mau semuanya itu kembali terulang. Aku berhak menentukan kehidupan dan masa depanku. Aku berhak menggapai harapan dan cita-citaku”, suara Nana pelan dan berat, pengorbanan dan kesetiaanya terhadap orang tuanya yang telah dia berikan di masa lalu terasa sia-sia. “Pengalamanku dengan menghancurkan impian dan harapanku berkarya di pulau jawa itu sudah cukup bagiku. Kini aku harus memilih dan berani menentukan masa depanku.” Kata-kata itu sungguh-sungguh kuat dan melekat di benak Nana. Tekatnya bulat dan hatinya berkobar untuk menanamkan niat di dalam kalbunya. “Dod, aku tau konsekuensi dari pilihanku dan pilihan kita. Mungkin kita tidak akan mendapat restu dari orang tuaku, mungkin mereka akan membencimu dan membenci kita, mungkin mereka akan menganggap kita adalah anak yang tidak berbakti dengan orang tua. Aku tidak peduli !. Hidup adalah pilihan dan rasa cintaku kepadamu pun menuntut pilihan itu. Jika aku memilih kamu, maka mungkin aku harus jauh dengan orang tuaku dan jika aku memilih orang tuaku aku harus jauh dari kamu. Aku tidak bisa jauh dari kamu Dod”. Ungkapan-ungkapan dan kata-kata Nana tetap tegas dan keras. Nana dan Dodi kembali diam, tetapi dalam diam hati mereka menyatu.Tekat meraka bulat untuk terus memperjuangkan cinta dan harapan mereka. Tantangan dan rintangan di hadapan mereka akan mereka hadapi bersama. “Jika itu yang terbaik untuk kita saat ini, mari kita jalani. Jika orang tuamu setuju itu lebih baik, tetapi jika tidak pun itu tetap akan menjadi baik bagi kita. Cinta tak selamanya mudah sayang, tapi percayalah bahwa kekuatan cinta akan membawa kebahagiaan. Biarlah waktu yang akan mengujinya dan alam semestalah yang menentukan,... aku akan tetap setia mencintaimu Na...”
Sinopsis
Sebuah kisah cinta yang dramatis. Hubungan yang harmonis yang dilandasi dengan cinta yang tulus harus berjalan terseok-seok karena reaksi pihak ketiga yakni orang tua. Orang tua yang tidak menyetujui kedekatan anaknya dengan pacarnya. Bukan hanya itu, orang tua yang tidak setuju dengan hubungan itu berusaha terus-menerus untuk menggagalkan hubungan cinta anaknya. Usaha itu melibatkan teman-teman dekat mereka yang menjadikan situasi semakin rumit. Namun cinta adalah kekuatan yang luar biasa. Cinta memampukan seseorang untuk menentukan dan membuat pilihan-pilihan. Kekuatan cinta itulah yang menjadi dasar bagi mereka untuk tetap berjuang setia pada komitmen mereka. Haruskan cinta dikorbankan karena gengsi, prestise dan ambisi pribadi? TIDAK!
Senin, 24 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar